Login Daftar DPLK Info Kepesertaan

Menyikapi Dampak Kebijakan Tarif 2.0 Donald Trump : Tantangan dan Peluang Global

Oleh : Budi Sutrisno, Direktur Utama Dana Pensiun BCA

Latar Belakang

Dalam pernyataan resmi pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang akan berlaku mulai 5 April 2025. Kebijakan ini menetapkan tarif dasar sebesar 10% bagi hampir seluruh barang impor, dengan pengecualian untuk komoditas tertentu seperti obat-obatan, semikonduktor, dan mineral strategis. Langkah ini menandai eskalasi baru dalam pendekatan proteksionisme ekonomi yang diusung pemerintah AS.

Selain tarif dasar, kebijakan tersebut juga mencakup tarif tambahan sebesar 25% yang dikenakan khusus untuk mobil impor mulai 23 April 2025, serta suku cadang otomotif yang mulai diberlakukan pada 3 Mei 2025. Penerapan tarif ini dimaksudkan untuk memperkuat industri manufaktur dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada produk asing, terutama dari negara-negara mitra dagang utama.

Namun, kebijakan ini memicu penerapan tarif resiprokal dari negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Sebagai respons, produk Indonesia yang masuk ke pasar AS dikenakan tarif sebesar 32%, efektif mulai 9 April 2025. Kondisi ini diperkirakan akan memberikan tekanan terhadap daya saing ekspor Indonesia di pasar global, khususnya untuk produk yang selama ini bergantung pada pasar AS.

Secara umum, tarif merupakan pajak atau bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor. Dalam praktiknya, beban tarif biasanya dialihkan kepada konsumen melalui kenaikan harga barang, sehingga dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga oleh konsumen akhir di negara pengimpor. Kebijakan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak sosial dan politik yang lebih luas.

Tarif impor yang diberlakukan AS terhadap Indonesia mencapai 32%. Karena ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 1,5%-2,2% dari total PDB, dampak langsung akan terbatas. Namun dampak tidak langsung bisa cukup besar jika tarif AS yang dikenakan terhadap berbagai negara lain akhirnya memperlambat ekonomi global dan menekan permintaan akan ekspor dari Indonesia, khususnya dari Cina yang merupakan mitra dagang utama kita.

 

 

Neraca perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat

Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 1,5%-2,2% dari total PDB dan jika kita lihat dalam angka Neraca perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat di bawah ini :

Maka berdasarkan data yang ada diatas, pengaruh hubungan dagang Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap perekonomian nasional relatif tidak terlalu besar dan masih dalam kondisi yang terkendali. Hal ini tercermin dari kontribusi ekspor Indonesia ke AS yang hanya berkisar antara 1,5% hingga 2,2% terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB). Namun demikian, kebijakan tarif tinggi yang kembali diterapkan oleh Amerika Serikat, yang dikenal sebagai “Trump Tarif 2.0”, telah memberikan dampak besar terhadap situasi global secara keseluruhan.

Salah satu dampak utama dari kebijakan tersebut adalah gejolak pasar keuangan global. Beberapa indikasinya meliputi kejutan yang terjadi di berbagai bursa saham dunia serta pelemahan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang (emerging markets). Selain itu, kebijakan ini juga menyebabkan gangguan pada perdagangan dunia, seperti terjadinya retaliasi tarif dari mitra dagang utama AS, khususnya Tiongkok, terganggunya rantai pasok global, serta penurunan volume perdagangan internasional.

Di sisi lain, Indonesia justru mencatatkan surplus perdagangan yang cukup besar terhadap Amerika Serikat. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per Maret 2025, nilai impor AS dari Indonesia mencapai US$ 29,5 miliar, sementara ekspor AS ke Indonesia tercatat sebesar US$ 10,2 miliar. Hal ini menghasilkan surplus sebesar US$ 19,3 miliar bagi Indonesia. Dengan surplus yang signifikan ini, Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup kuat, bahkan menerapkan tarif balasan terhadap produk AS dengan besaran mencapai 64%.

 

Peluang Indonesia di tengah Gelombang Perang Tarif

“Trump Tarif 2.0”, gelombang baru perang tarif terhadap Tiongkok dan negara-negara mitra dagang lainnya, diprediksi akan mengguncang stabilitas perdagangan global. Meski terdengar seperti ancaman, jika kita berpikir secara positif, sesungguhnya ini adalah momen strategis bagi Indonesia untuk mengambil posisi yang lebih menguntungkan di peta perdagangan dunia.

  1. Trade Diversion: Peluang dan Tantangan

Salah satu dampak langsung dari perang tarif adalah trade diversion pergeseran aliran perdagangan dari satu negara ke negara lain akibat hambatan tarif. Ketika produk Tiongkok dibebani tarif tinggi oleh AS, perusahaan-perusahaan global akan mencari alternatif pemasok atau lokasi produksi baru. Di sinilah Indonesia memiliki peluang besar untuk mengambil alih sebagian pasar yang sebelumnya didominasi oleh Tiongkok.

Namun, peluang ini juga datang dengan tantangan. Infrastruktur logistik, birokrasi, dan iklim investasi Indonesia harus segera dibenahi agar mampu bersaing secara efektif. Jika tidak, peluang trade diversion bisa dengan mudah direbut oleh negara tetangga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Indonesia Punya Peluang Lebih Besar Dibanding Vietnam

Selama ini Vietnam sering dipuji sebagai destinasi utama relokasi industri akibat perang dagang AS-Tiongkok. Namun dalam gelombang baru ini, Indonesia memiliki sejumlah keunggulan yang tak kalah kuat, bahkan dalam beberapa aspek, lebih kompetitif dibanding Vietnam:

  • Pasar domestik yang besar memberikan daya tarik tambahan bagi investor asing.
  • Ketersediaan tenaga kerja dalam jumlah besar dengan biaya yang relatif kompetitif.
  • Peluang hilirisasi sumber daya alam yang lebih luas, yang mendukung pembangunan industri berbasis nilai tambah.
  • Posisi geografis strategis di jalur perdagangan regional maupun global.

Jika dikelola dengan baik, Indonesia bisa melampaui Vietnam sebagai pusat manufaktur dan perdagangan di kawasan.

 

Apa saja yang menyebabkan Indonesia punya peluang di tengah ancaman perang tarif ini?

Indonesia punya beberapa keunggulan yang membuatnya memiliki peluang besar di tengah ancaman perang tarif antara negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok, di antaranya:

 

  1. Ketergantungan yang Rendah terhadap Pasar AS

Ekspor Indonesia ke AS hanya setara 2,2% dari PDB, jauh lebih kecil dibandingkan negara seperti Vietnam yang mencapai 33% dari PDB. Artinya, jika terjadi penurunan permintaan dari AS akibat perang tarif, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia tidak akan sebesar negara lain.

  1. Fleksibilitas dalam Menyesuaikan Neraca Dagang

Indonesia punya ruang untuk meningkatkan impor dari AS, misalnya untuk komoditas seperti minyak, gas, kedelai, gandum, dan alat pertahanan. Ini membuat Indonesia bisa menyeimbangkan neraca perdagangan dengan AS dan menghindari tekanan tarif tambahan.

  1. Surplus Perdagangan yang Moderat

Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan AS, tapi dalam skala yang tidak terlalu besar, sehingga tidak terlalu menonjol sebagai “target” dalam perang tarif, seperti Tiongkok atau Vietnam.

  1. Diversifikasi Mitra Dagang

Indonesia tidak hanya bergantung pada AS, tapi juga memiliki mitra dagang utama lainnya seperti Tiongkok dan India. Ini membuat Indonesia lebih tahan terhadap guncangan dari satu negara saja.

  1. Posisi Geopolitik dan Strategis

Di tengah ketegangan geopolitik, Indonesia dapat memainkan peran sebagai mitra yang netral dan strategis, sekaligus memperkuat kerja sama ekonomi tanpa dianggap “berpihak” secara ekstrem.

 

Peluang Indonesia di Tengah Gelombang Perang Tarif pada acara Sarasehan ekonomi 8 April 2025, disampaikan sebagai berikut :

 

Penutup

Dalam setiap tantangan, selalu terselip peluang. Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa di tengah tekanan global sekalipun, akan selalu ada celah untuk bangkit dan melangkah lebih maju. Sejarah pun telah membuktikan bahwa bangsa yang tangguh adalah bangsa yang mampu mengubah krisis menjadi momentum perbaikan dan pertumbuhan.

Langkah cepat yang diambil oleh Presiden Prabowo dan jajaran kabinetnya dalam merespons dinamika global, khususnya terkait perang tarif AS, menunjukkan kesiapan dan keseriusan Pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional. Ditambah dengan fundamental ekonomi Indonesia yang cukup kuat, keyakinan akan ketahanan ekonomi kita, patut terus dijaga dan diperkuat.

Meski gejolak sesaat sempat mengguncang pasar keuangan dan menekan nilai tukar Rupiah, hal itu wajar terjadi sebagai bentuk penyesuaian awal terhadap “Trump Tarif 2.0”. Namun demikian, dengan sinergi yang baik antara kebijakan strategis dan respons cepat yang dilakukan Pemerintah, potensi pemulihan dan pertumbuhan ke depan sangat terbuka lebar.

Melihat arah kebijakan dan fondasi yang terus diperkuat, kita memiliki optimisme bahwa Indonesia mampu melewati tantangan ini dengan baik. Bahkan lebih dari itu, jika momentum ini dikelola dengan tepat, Indonesia justru bisa melangkah lebih pasti menuju visi besar Indonesia Emas 2045, sebuah masa depan yang mandiri, maju, dan berdaya saing global.

Berita terakhir presiden AS pada tanggal 9 April 2025 menunda pelaksaan tarif terhadap puluhan negara selama 90 hari, kecuali China yang malah dinaikkan tarifnya menjadi 125% dari sebelumnya 104% mengingat China membalas mengenakan kenaikan tarif sebesar 84% terhadap AS. Keputusan Trump dilatar belakangi oleh gejolak pasar yang sangat dramatis, volatilitas sangat tajam sejak masa-masa awal pandemi Covid 19.

Semoga ini menjadi langkah awal yang baik bagi perekonomian global, semoga juga AS dan China bisa menemukan jalan keluar dari perang tarif ini yang terus terang sangat meresahkan dan membingungkan bagi perekonomian global, semoga...

 

1599

Related Post

Artikel

SUN Tenor 40 Tahun Dirilis,…

Diambil dari Publikasi Online Kontan.co.id

Nov 23,2023
Artikel

Taksonomi Keuangan Berkelanjutan…

Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Sebagai Jawaban atas Climate Change dan Efek Gas Rumah Kaca

Nov 23,2023